secangkir teh tarik

…ya untuk diminum, apa lagi. mau?


2 Comments

Japan Trip: Mencari Fuji

Dengan mata masih tertutup belek dan jalan sempoyongan, sekitar jam 8 pagi kami turun dari bus Willer di Shinjuku West Exit. Belum terbiasa dengan exit-exit yang cuma berupa tangga, yang ngga keliatan tanpa mengamati dengan teliti, menuju ke stasiun subway.

Tunnel di Shinjuku begitu sibuk dan padat. Selain terletak di kawasan bisnis, Stasiun Shinjuku juga merupakan perhentian utama di Tokyo bagi bis-bis luar kota.

Kami mulanya berjalan di sisi kiri tunnel, kemudian ingin mampir ke convenience store di sisi kanan. Dan kami berdiri kebingungan, bingung gimana memotong jalan segerombolan orang berpakaian warna gelap dengan pandangan lurus dan jalan tergesa. Ngeri kalau sampai mengacaukan ritme langkah mereka tersenyum lebar.

Rencananya kami pagi ini akan ke Lake Kawaguchiko, salah satu spot untuk melihat Gunung Fuji. Karena belum tau dimana beli tiket bus, saya putuskan ke Tourism Information Centre di Gedung Tokyo Metropolitan Governement. Ternyata lokasinya lumayan jauh menyusuri tunnel dari Shinjuku ke TMG, apalagi sambil geret koper. Sampe sana eeeeh TIC bukanya baru 1 jam lagi. Daripada lemas sia-sia, kami bertanya kepada petugas berseragam cara ke Kawaguchiko. Ia kemudian memanggil rekannya yang bisa berbahasa Inggris. Dalam sekejap kami dirubung petugas beseragam biru donker.

Setelah percakapan tumpang tindih di antara mereka, sementara kami berpandangan antara geli dan ngga enak hati, si petugas tadi meminta kami mengikuti ke luar gedung. Kemudian ia menunjuk ke arah kami datang, “Kalian ke stasiun Shinjuku, lurus kemudian belok kanan  ada pos polisi. Kalian bisa tanya di sana.” Oooow okeee kami balik lagi ke stasiun tapi lewat luar.

Sambil jalan, kami ngobrolin petugas-petugas baik hati itu, saat seseorang yang melintas di samping menyapa “Selamat pagi”. Kami bengong, kemudian perlahan membalikkan badan. Pria itu seorang Jepang, melihat kami ragu-ragu, ia juga berhenti. “Mau kemana?” dalam bahasa Indonesia. Ternyata dia pernah tinggal selama 2 tahun di Jakarta. Kami bilang mau ke Kawaguchiko. Karena dia juga ngga tau pasti, sarannya sama dengan petugas tadi, yaitu tanya petugas di stasiun.

Tempat penjualan tiket bus akhirnya kami temukan setelah mencegat sekali lagi petugas berseragam yang lewat, saya lupa di sebelah mana stasiun. Entah sepertinya saya menanyakan pertanyaan yang salah, mulanya petugas menunjuk ke gedung yang jauh, kemudian seperti tersadar dia kemudian menunjuk tempat lain yang sangat dekat dengan tempat kami berdiri, yaitu Bus Keio. Diantar pula sampe ke loket.

Sebelum kami beli tiket, petugas loket menginformasikan karena terjadi kemacetan, perjalanan ke Kawaguchiko yang seharusnya hanya 2 jam kemungkinan bisa menjadi 4 jam. Kami ragu-ragu dan menyingkir dari loket untuk berunding. Prospek untuk 8 jam pp naik bus lagi setelah 8 jam perjalanan bus Kyoto-Tokyo, “hanya” untuk nongkrongin Gunung Fuji, sangat melemahkan semangat. Tapi kami memang tidak ada rencana apa-apa seharian ini. Mau check-in ke hostel juga belum bisa. Jadi kami tetap pada rencana semula. Masih cukup waktu untuk sampai ke hostel sebelum larut.

Tiket bis ke Kawaguchiko seharga JPY1,700. Sebelumnya kami taro bagasi dulu di loker sewaan terdekat. Karena mengira waktunya mepet, kami lari-lari ke tempat loker dan kembali ke perhentian bis, takut ketinggalan.

Ternyata yang macet di dalam kota, setelah keluar Tokyo jalanan lancar. Kami sampai di Stasiun Kawaguchiko dalam 3 jam “saja”. Ada 2 orang Indonesia yang satu bis dengan kami, yang kemudian barengan hunting view Gunung Fuji.

Judulnya selama di Jepang, kami pertamanya selalu kebingungan dulu, baru kemudian mempelajari situasi (plus tanya sana sini). Seperti di Kawaguchiko ini, di stasiun kami ngga tau harus kemana dan ngapain untuk ke danaunya dan melihat Gunung Fuji. Pengennya naik ropeaway seperti di buku @ClaudiaKaunang, itu juga ngga tau dimana letaknya. Kami berempat membeli tiket bus 1-day pass seharga JPY1,000 plus dapat time-table bus.

Bus datang kami naik rame-rame. Terus..terus ini harus turun dimana yaaa? Yang mana danaunyaaa? Mana Gunung Fujinyaaa? Hahaha ampun daah. Begitu terlihat papan bertuliskan Lake Kawaguchiko (lupa melulu kalo mau minta bis berhenti harus pencet tombol yang ada di tempat duduk), kami berlompatan turun. Sudah ketemu danaunya (ya secara itu bis memang keliling danau, gemana sih), mana yang namanya Fuji?

Beberapa orang tua yang sedang nyantai di sebuah pos kami tanyai.

“Oh, Gunung Fuji ngga kelihatan dari sini”

Lhaaa teruuuss?

Ternyata Gunung Fuji ngga kelihatan, karena posisinya di sisi tempat ini. Kalo mau liat, harus berada di sisi seberang danau sono. Dan saya yang keseringan lama loadingnya baru ngerti bahwa dengan tiket bus yang kami beli, kami bisa naik turun bis di halte manapun (ada 21 halte) di kawasan danau ini seharian. Tempat kami turun itu halte 10. Baru deh kami buka time-table bus dan paham cara bacanya whew!menjulurkan lidah. Ngga apa-apa lah, sudah pake day pass ini. Pemandangan juga bagus kok, jadi bisa foto-foto dulu.

Halte 10

Dengan melihat peta, kami menebak-nebak kira-kira di halte mana kami harus turun supaya bisa liat Fuji. Kami coba turun di halte 14, yang hanya berupa tepi jalan (halte 10 ada tamannya). Ada jalan setapak kecil menurun ke arah tepi danau.

Dan seperti kata orang-orang, susah kali melihat puncak Gunung Fuji yang sering tertutup kabut.

Kalo ngga salah ini di halte 14

Lanjut ke halte berikutnya, naaah tempatnya lebih asik dan posisi Gunung Fuji lebih terlihat jelas.

breath taking…

Kesabaran kami menunggu sedikit menghasilkan. Perlahan kabut menyingkir, dan walau tidak seluruhnya, puncak Gunung Fuji kelihatan juga.

yang ini di halte 19. tepi jalan juga.

Hop in hop off dari halte ke halte, foto-foto sampe batere kamera yang dasarnya sudah tiris (di Kyoto ngga sempat nge-charge) akhirnya matot. Aaaah senaaangnyaaa hari itu… *kissbye Fuji*


2 Comments

Japan Trip: Kyoto, Dari Kuil ke Kuil

Mengapa orang Indonesia itu kalo liburan pengennya sekalian ke  banyak tempat. Kata @vyisipie, karena cutinya sedikit.

Jadi walopun kami tiba hampir tengah malam di J-Hoppers Osaka Central dan tidur menjelang dini hari (karena sibuk bersenang-senang mandi), kami bisa bangun cukup pagi. Segera mandi sebelum ngantri dengan penghuni lain, kemudian mengeksplor hostel sampe ke teras atap.

Rupanya saya salah ngerti maksud dari “self-catering kitchen”. Alih-alih sarapan, hostel hanya menyediakan teh dan kopi. Jadi kami beli roti sandwich dan onigiri di 7-11. Di dapur tersedia utensil lengkap, microwave dan toaster. Semua utensil yang kita pakai harus dicuci sendiri.

Sebelum jam 9 pagi kami sudah siap membereskan pembayaran dan check-out. Resepsionis yang menerima kami seorang cowok Jepang yang tertarik dengan kaos Bali yang dipakai @vyisipie. Ketika tau kami dari Indonesia, dia dengan antusias bilang suka sekali dengan celana yang sering dipake orang Indonesia, yang ada lukisannya. Maksudnya celana batik kali ye.

Perjalanan ke Kyoto sekitar 1 jam dari stasiun Tennoji. Karena 1 day pass sudah kadaluarsa, kami beli tiket 1-way JPY690.

Walopun sudah merasa yakin berkeliaran di stasiun Tennoji sehari sebelumnya, bukan berarti di Kyoto kami segera terbiasa. Sampe di stasiun Kyoto, kami kebingungan mencari Tourist Information Centre yang sekalian menjual tiket bis/kereta seperti petunjuk di buku @ClaudiaKaunang. Di lantai dasar juga ada TIC , tapi cuma untuk informasi tok. Oleh petugas nan ramah kami ditunjukkan arah ke tempat penjualan tiket. Eeeeh, masih juga nyasar. Kalo saya sih karena short memory loss banget. Harusnya keluar dari gedung, langsung naik tangga ke lantai 2. Kami malah ngeloyor ke arah berlawanan sampe jauh ke mal. Halte bisnya sih keliatan di luar stasiun, tapi ngga ada tanda-tanda loket penjualan tiket. Setiap orang yang kami tanyai tidak bisa berbahasa Inggris. Akhirnya setelah bolbal muter ngga karuan kami menemukan tempat yang dimaksud.

Kepada petugas, kami menunjukkan tempat-tempat yang ingin kunjungi. Karena semua tempat tersebut lebih mudah dicapai dengan menggunakan bus, petugas menyarankan membeli 1-day pass bus saja seharga JPY500 (tiket 1-way JPY220). Selain itu kami diberi “Bus Navi” yaitu peta Kyoto lengkap dengan informasi rute bis. Area turisme diberi alfabet berbeda, begitu pula dengan rute bisnya yang juga berwarna-warni sesuai nomor.

Baru liat petanya aja udah berasa Kyoto ini semacam kota budaya. Dimana-mana betebaran temple dan shrine. Seperti Kinkakuji (Golden Pavilion), kuil Zen yang terletak di sebelah utara kota. Dapat ditempuh dalam waktu kurleb 40 menit dengan bis nomor 101 dan 205 langsung ga pake ganti bis.

Dulunya area ini adalah vila seorang statesman. Sesuai dengan namanya, bagian luar dua lantai teratas dilapisi oleh lempengan emas. Dibangun di seberang kolam dengan pulau-pulau kecil (islet) dan taman dengan batu-batu putih. Ih senang banget liatnya, indah persis kayak di foto-foto brosur cuma kurang warna merah di pepohonan. Sayangnya bagian dalam tidak dibuka untuk umum.

Kinkaku (Golden Pavilion)

Kami berkeliling area tersebut melewati pondokan kepala pendeta, tea garden, Fudo Hall (sebuah kuil kecil) dan banyak statue tempat orang-orang melempar koin.

Tak kalah unik, Sanjusangendo Temple kuil kayu sepanjang 120 meter. Di dalamnya berjajar 1000 patung Kannon dalam posisi berdiri, sebagai pusatnya 1 patung Kannon dalam ukuran gigantis dengan posisi duduk, dan 28 arca dewa dalam ajaran Buddha yang diletakkan di depan standing Kannon. Untuk masuk ke kuil harus mencopot sepatu, dan dilarang untuk mengambil gambar serta berbicara karena banyak umat Buddha yang sedang berdoa.

Karena ngga boleh poto-poto di dalam, baiklah kita poto waktu ngambil ramalan aja ya.

silakan kakaaaak….ramalannya…

Satu lagi kuil yang a-must-see, yaitu Kiyomizudera. Walopun sakura sedang tidak merona saat itu, kuil ini tetap punya pemandangan yang luar biasa indah. Dibangun di atas bukit dengan posisi menjorok tebing, kita bisa memandang kota Kyoto dari kejauhan. Kata situs ini, aula utamanya dibangun tidak menggunakan paku loh.

Di bagian dasar aula utama, jika berjalan mengikuti jalur wisatawan sampai ke bawah bukit, ada air terjun Otowa. Makanya kuil ini dinamakan Kyomizudera, yang dalam bahasa Jepang artinya kuil air murni. Saat kami tiba, antrian untuk minum lumayan panjang. Kami mengantri bergantian supaya bisa difoto 🙂 .

Untuk mengambil air menggunakan cangkir yang dilekatkan pada sebatang galah panjang. Setelah digunakan, cangkir tersebut harus diletakkan ditempatnya untuk disterilisasi. Air terjun dialirkan ke kolam melalui 3 cucuran atap. Saya baru tau belakangan bahwa tiap aliran punya manfaat yang berbeda, yaitu berumur panjang, sukses di sekolah dan beruntung dalam percintaan. Saya minum di aliran pertama dari tempat antrean. Apakah aliran itu yang bermanfaat untuk berumur panjang, saya ngga tau juga. Ngga usah cobain semua aliran ya. Selain banyak yang ngantre, kita akan dianggap maruk.

airnya segeeerrr

Kiyomizudera itu letaknya di atas bukit. Untuk sampe ke sana dari halte bis jalannya nanjak-nanjak. Salah satu jalurnya yang asyik untuk dilalui adalah Higashiyama District, soalnya banyak toko souvenir untuk cuci mata. Juga seru liat kelebatan kimono, dan sepertinya kami melihat geisha.

Hari menjelang malam saat kami menuju Gion District untuk melihat lebih banyak geisha. Tapi ngga nemu satu pun. Fufufu… mungkin geisha-nya sedang bertugas jadi ngga keluyuran di jalan dong yah. Jadi kami menikmati berjalan-jalan di antara rumah kayu tradisional Jepang (machiya) yang kebanyakan difungsikan sebagai resto atau rumah teh.

Jam 9 malam setelah nyasar-nyasar cari halte bis Gion dan salah naik bis pula, kami kembali ke Stasiun Kyoto. Tengah malam kami menuju Tokyo dengan menggunakan bis malam Willer. Kami pilih tipe bis business class dengan fasilitas toilet. Bisnya nyaman, spacenya lega dan senderan kursi bisa dimiringkan sampe 140 derajat. Sesuai lah dengan harganya 🙂 .


Leave a comment

Japan Trip: Desa Ninja & Bolak-balik Naik JR di Osaka

Kata orang, jalan-jalan itu nyandu. Baruuuu aja kelar liburan, “habis ini kita jalan kemana lagi nih?” adalah pertanyaan berikutnya.

Tahun ini saya set untuk menjajal negara impian Jepang secara independen bersama @vyisipie. Semacam ingin mengkonfirmasi (sekaligus teriming-iming) buku panduan “2,5 Juta Keliling Jepang” oleh @ClaudiaKaunang. Bulan Agustus tahun lalu, ketika AA promo rute baru Jakarta – Osaka (via KL), we grabbed it fast (yang sebenarnya ngga perlu segitunya karena beberapa bulan kemudian AA kembali promo hal yang sama). Tiket balik ngga dapat yang promo karena kami pulang lewat Haneda, Tokyo.

***

“Mana backpack aku?” tanya @vyisipie, my buddy travel.

Seperti antiklimaks saat kami menyadari di atas conveyor belt terlihat tanda bahwa semua bagasi sudah unloaded.

ekspresi landing langsung poto-poto ——————–> ngga nemu bagasi

Kami penumpang terakhir yang menyelesaikan urusan imigrasi karena lebih fokes poto-poto. Proses pelaporan kehilangan berjalan seret dikarenakan bahasa Inggris kami dan petugas ANA sama-sama so-so. Tapi petugasnya semangat melayaninya sempurna loh, ngga keliatan kesel walopun hampir tengah malam menerima pengaduan dua penumpang rewel yang sulit menangkap bahasa Inggris dengan logat Kansai.

Ini pengalaman pertama menginap di bandara yang ternyata amat nyaman. Bandara Kansai Int’l terbiasa mengakomodasi orang-orang yang ingin menginap. Fasilitasnya lengkap dan bersih, ada locker, shower room berbayar, serta bisa pinjam selimut gratis di Information Centre. Dan sangat gampang menemukan fasum tersebut karena petunjuk arah jelas. Ini penting bagi saya yang sebelum nanya orang, selalu baca petunjuk dulu.

Saya mulanya kebingungan nyari tempat sholat yang nyaman. Walopun bandara udah sepi, ini saat-saat petugas kebersihan beroperasi. Takutnya pas mereka lagi beberes terus ngeliat sesosok kecil kerudungan lagi nungging di bawah tangga, bisa heboh satu bandara. Alhamdulillah ada nursery room di dekat toilet yang bisa dimanfaatkan untuk sholat dengan tenang.

Besoknya kami bangun cukup pagi untuk sarapan dan memulai petualangan. Pertengahan bulan Mei seharusnya sudah musim peralihan dari semi ke panas. Namun di Osaka saat kami keluar dari bandara pagi itu hawa cukup bikin menggigil anak tropis berbadan tipis seperti saya ini.

Itinerary pertama yaitu Museum Ninja di Prefecture Mie, berada di luar kota Osaka. Kami menuju ke stasiun kereta dan menemukan dua kantor penjualan tiket JR West Line (warna biru) dan Nankai (warna merah). Saya yang sebelumnya sudah cari info (harus kemana-naik apa-turun dimana) begitu berhadapan dengan kenyataan di lapangan jadi lumayan bingung, biru atau merah. Untungnya saya punya travel buddy dengan mental manajerial. Kami memutuskan masuk ke kantor warna biru dan menanyakan cara menuju Igaueno.

Kembali lagi sebagai turis yang kebingungan memutuskan, plin-plan dan bahasa Inggris yang yah-begitulah, kami akhirnya membeli tiket JR 1-day pass Kansai Area (meliputi Osaka, Kyoto, Nara sampai Kobe) seharga JPY2,000 dan tiket 1-way Nara-Igaueno JPY650.

Rute perjalanan sebagai berikut:

– Kansai Airport – Tennoji – Nara – Kamo, di sini kami berganti-ganti jalur kereta menggunakan 1-day pass

– Kamo – Igaueno, menggunakan tiket JR 1-way

– Igaueno – Uenoshi, beli tiket JR Iga Railway 1-way seharga JPY250

Di Tennoji keliling sebentar untuk mencari loker sewaan. Tennoji ini salah satu stasiun utama di Osaka, yang selama kami mondar-mandir berkereta ada sekitar 7 kali kami transfer dari stasiun ini.

Perjalanan dari Bandara sampai ke Uenoshi memakan waktu hampir 3 jam termasuk waktu tunggu kereta yang paling lama 15 menit. Tiba di Stasiun Uenoshi sudah terasa bahwa kota ini adalah rumahnya ninja.

JR Iga Railway. Keretanya ceria beut ya…

Irrashaimase…

Kotanya kecil saja dan udaranya sejuk. Karena kemampuan saya payah dalam membaca peta, sempat muter-muter nyari Museum Ninja. Yang ternyata waktu balik dari sana kita baru tau lokasinya gampang banget dicapai. Keluar dari stasiun trus di sebelah kiri ada tangga ke bawah, ikutin aja jalannya sampe keluar ke jalan. Di seberang jalan udah keliatan pintu masuk Taman Uenoshi. Museum Ninja berada di area tersebut. Kita sampe pas pertunjukan ninja jam 11 akan dimulai. Admission fee museum JPY300, sedangkan show ninja JPY700.

Ketika kami masuk, di dalam tenda dengan tempat duduk semacam amfiteater kecil sudah banyak penonton. Agak sulit menemukan tempat untuk mengambil gambar tanpa terhalang kepala. Pertunjukan menggunakan bahasa Jepang, dan kami bengong dong pas penonton lain pada ketawa-tawa. Pertunjukan mengenai senjata-senjata yang digunakan ninja dan peragaan pemakaiannya.

Yang lucu menurut saya, mereka orang-orang Jepang ini somehow kaya yang digambarkan di manga. Lagi serius-seriusnya menerangkan sesuatu trus tiba-tiba ada yang muncul dari belakang panggung nyeletuk. Walo ngga ngerti ngomongin apaan tapi dari gesture mereka lucu aja gitu.

cantik dan jago main sempritan

dapat salam dari six-packed :p (hasil repro dari poster. wong slama show ninjanya pake baju. cih)

Ninja itu sebenarnya adalah semacam agen rahasia, sehari-hari mereka akan menyamar sebagai pendeta, pengembara, pedagang, pemusik jalanan, pemain akrobat, petani atau prajurit. Untuk menjalankan tugasnya sekaligus bertahan hidup, tidak hanya jago bertarung, mereka harus  menguasai ilmu alam astronomi, fisika dan biologi.

Di dalam Museum Ninja ini ada prototipe rumah ninja yang banyak kamuflase dan jalan darurat seperti pintu putar, tangga tersembunyi, tempat pengintaian dan tempat penyimpanan rahasia. Pokoknya peralatannya menerapkan fisika abis. Keren lah, mengingat semua dibuat dengan sederhana. Semua tentang ninja ada di sini: senjata, peralatan, pakaian, sejarah. Kalo mau cari yang “Jepang banget” harus ke sini deh.

Kelar mengitari museum, di luar kami bertemu dengan ninja yang tadinya memamerkan trik-trik rumah ninja. @vyisipie berbisik, “aku mau foto dong sama ninja itu”. Kami bergegas menghampiri dan minta si ninja foto bareng. Foto bareng biasanya kan dekat-dekatan tuh. Ehiniya waktu @vyisipie mendekat, si ninja langsung menjauh. Dan supaya ngga kentara (atau supaya kami ngga tersinggung mungkin), ia mengambil pose ala ninja, yaitu menjalin semua jari tangannya kecuali telunjuk di depan dada. Kurang jelas? Mari kita liat perbedaan kedua foto berikut.

you think?

Ehm, mas..mas.. ini tamparan loh bagi kami para wanita yang udah ngejar-ngejar situ.

Mungkin..mungkin si ninja takut kalo keninjaannya luntur kalo bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahrom *apaaa coba*

Rupanya dia ngga mempan dengan lesung pipi non @vyisipie, secara dia juga punya gitu.

Eh. Udah ya membahas si mas ninja.

Itinerary berikutnya Osaka Castle. Dari Uenoshi, kami mengambil rute pulang sampai Tennoji, dan berganti kereta ke stasiun Osakajokoen. Lokasinya mudah ditemukan karena begitu kami keluar dari stasiun, sebenarnya sudah merupakan area Osaka Castle Park. Namun untuk sampai ke kastil perlu jalan kaki sekitar 15 menit.

Dan saya salah perhitungan, mengira ngga balik lagi ke stasiun Tennoji saya ambil koper dari loker. Selama sisa perjalanan hari itu saya seret koper kemana-mana, ngga tau kalo tiap ganti kereta pasti baliknya ke Tennoji lagi. Tennoji oh Tennoji desu…

Lanjut ya… jadi saya geret-geret koper melewati tanjakan-tanjakan menuju kastil yang lumayan jauh itu. Hari sudah sore, lewat dari jam berkunjung ke dalam kastil (yang difungsikan sebagai museum). Mencuri dengar dari seorang tour-guide berbahasa Indonesia, di dalam ngga ada apa-apanya (maksudnya mungkin peserta ngga tertarik dengan museum dan sejarah Jepang) jadi kami bisa saving JPY600 untuk admission fee. Kami hanya berfoto-foto di area luar dan taman yang banyak burung daranya. Sayang masa bersemi bunga Sakura sudah lewat.

rebuilt Osaka Castle. ada elevator-nya loh.

Ehya…ini seharian jalan dan turun naik kereta ngga ada mampir makan siang cobaaa. Jadi untuk makan malam kami menuju Dotonburi. Selama di Jepang, saya agak kesulitan mengatur disiplin makan. Pilihannya seafood atau telur, dan kalo bisa ngga dijual barengan dengan pork. Malam itu kami makan nasi tuna di Yoshinoya di Dotonburi. Dotonburi itu semacam downtown-nya Osaka yang penuh dengan kedai-kedai kuliner. Sayang banget kami ngga sempat berwisata kuliner. Sebenarnya tujuan ke sana mau menikmati Osaka di malam hari, tapi kami tidak bisa berlama-lama. Sewaktu perjalanan dari Tennoji, dan sempat muterin Osaka Loop Line 1 putaran penuh (jalur kereta yang kami ambil ternyata dilalui oleh dua jurusan. Harusnya naik kereta yang menuju JR-Namba), kami mendapat kabar bahwa bagasi @vyisipie kemarin tertinggal di KL dan akan tiba malam itu dengan pesawat yang sama dengan yang kami tumpangi kemarin. Kami mendesak petugas ANA agar bisa mengambil bagasi malam itu juga. Segera setelah selesai makan, buru-buru kami kembali ke stasiun yang jaraknya sekitar 7 menit berjalan kaki.

Pesawatnya telat 1 jam, tapi urusan bagasi amat sangat lancar. Dan @vyisipie yang selalu optimis backpack-nya kembali akhirnya bisa salin baju. Yaaak..jadi slama kami jalan seharian itu tanpa mandi.

Baru satu hari menginjak Jepang, saya sudah kenyang naik JR (Japan Railway), berpindah kereta dari stasiun dan platform satu ke lainnya. Sampe di penginapan, badan kayak masih goyang-goyang.

Hari pertama dengan klimaks backpack @vyisipie kembali….menyenangkan 🙂


3 Comments

Eurotrip Halte 6 & 7: Venice & Roma

Duabelas April Milan

gambar diambil dari http://worldatlas.com

Dibandingkan dengan negara lainnya di trip ini, kota di Italia yang paling banyak menjadi perhentian kami.

Dari Luzern menyebrang ke Italia. Milan adalah perhentian pertama, 3 jam dari Luzern. Sebelumnya di perbatasan kami berhenti agak lama
untuk mengurus duty free karena Italia merupakan negara terakhir dari perjalanan. Maksud sih agar tidak terlalu lama mengurus duty free di bandara Fiumicino nantinya. Huh-looow ini Italia gituu…tentu saja ada belanjaan lagi.

Sementara menunggu rombongan, saya iseng ngambil gambar perbatasan. Eeeeh…petugas imigrasinya datang dan meminta agar foto yang baru saya ambil dihapus. Terus si petugas minta ditunjukkan bahwa fotonya sudah beneran dihapus. Isshh, ngga percayaan amat. Belakangan saya pikir-pikir, sebenarnya bisa aja saya mempertahankan foto tersebut karena si petugas ngga ngecek dengan memegang kamera saya, cuma liat doang. Tapi ngeri juga secara si petugas bawa senjata dan saya juga ngga mau dong membuat perjalanan tertunda untuk diinterogasi nggak boleh.

Di Milan acara utama yah shopping (atau window shopping in my case) selama 2 jam di quadrilatero della moda, suatu daerah perbelanjaan kelas atas di pusat kota. Saya hanya mengintil rombongan memasuki butik sepatu dan tas di sepanjang Via Montenapoleone dan Via della Spiga.

Memasuki Venezia, turis yang akan menginap harus membayar EUR260 per malam per orang untuk retribusi polusi. Mahaaal… padahal kotanya ngga rapi ini. Kami bermalam Venezia Mestre Castellana di Venezia yang mainland, bukan island. Selama trip, ini hotel pertama yang memiliki halaman, kolam renang dan lobby yang luas. Plus resepsionis pria italiano nan ganteng walopun botak. Mungkin karena bulu matanya lentik ehheee…hi..hi..hi.

13 April Venezia Island

Hari ini seharian kami dilepas berkeliaran di Venezia Island sampai dijemput kembali jam 4 sore. Dari pelabuhan hanya 20 menit melintasi Laut Adriatic dengan menggunakan boat. Yang pertama kami lakukan adalah menyewa gondola seharga EUR80 (muat untuk 6 orang, selain gondolier) untuk menyusuri kanal-kanalnya yang terkenal. Venezia sebenarnya terdiri dari pulau-pulau kecil yang dihubungkan dengan jembatan-jembatan. Air kanal berwarna hijau dan menurut saya agak bau. Tetap saja saya menikmati pengalaman naik gondola ini karena khas dan gratisan.

murano glass

Berikutnya kami ditawari oleh guide lokal untuk melihat-lihat pembuatan kerajinan kaca yang disebut murano. Dengan bahan dasar silica yang dipanaskan, seniman murano membentuk berbagai macam benda mulai dari hiasan seperti bunga dan bentuk binatang sampai benda fungsional semacam pemberat kertas. Pusat kerajinan murano sebenarnya ada di Pulau Murano yang masih merupakan bagian dari wilayah Venezia.

Makan siang kami di suatu resto Itali (lupa namanya) dengan menu pasta. Ekspektasi saya, seharusnya makan pasta di negara asal lebih greng dong rasanya. Ini kok ya plain aja gitu, cenderung anyep kalo saya bilang. Ga ada beda dengan gocengan McD, cuma porsi lebih besar.

Selebihnya saya dan mama menghabiskan hari dengan nongkrong di dermaga menonton taksi air, kesibukan dermaga dan Laut Adriatic.

Informasi ngga penting: toilet di Venezia paling mahal selama trip, yaitu EUR1.5. Info ngga penting lainnya: kebanyakan souvenir semacam kaos dengan nama negara, pin, tempelan kulkas dan pashmina/scarf yang dijual di negara-negara Eropa Barat ini adalah made in China. Cuma ngasi tau kok bersiul.

Kembali ke daratan, sebelum pulang ke hotel kami mampir ke Max, sebuah toko yang menjual produk-produk kulit dengan harga mid-low dan diskon rata-rata 10%. Merk Samsonite dan Pierre Cardin termasuk mid-low. Dan karena cukup murah, saya dan mama belanja tas dan sepatu juga. Sepatu yang saya beli bukan brand terkenal, tapi nyaman banget di kaki. Walo saya sebut murah, saya ngga mungkin beli sepatu seharga EUR70 di Indo dalam rupiah. Sebagai excuse, ini kan negara terakhir dalam trip dan Euro yang masih nyisa kudu diabisin dong ah *ahlesyan*

14 April Roma

Menghabiskan hari di jalanan menuju Roma. Itinerary seharusnya mampir di Florence, namun untuk masuk ke Florence dikenakan tax lagi atau kontribusi atau apalah itu, maka kami hanya berhenti di Prato untuk istirahat dan makan siang.

Menjelang sore kami memasuki Roma dengan menghadapi macet yang sama seperti memasuki Jakarta di pagi hari. Tidak seperti lalu lintas jalan di London dan Amsterdam yang rapi, di Roma ini kendaraan bisa parkir sembarangan. Seperti halnya warganya yang juga lebih santai dalam urusan disiplin.

15 April Vatican dan Roma

Hari ini kami mengunjungi Vatican. Mulanya kami hanya berfoto dari jauh dengan latar belakang St. Peter’s Basilica sebelum kami dianjurkan untuk masuk ke dalam. Ibu-ibu pada keberatan karena ogah masuk gereja dan antriannya lumayan panjang mengular sedangkan saya yang paling semangat mengiyakan ajakan si pimpinan tur.

Luas Vatican City hanya 44 hektar di dalam kota Roma, borderline-nya seperti lelucon saja dimana orang bisa main lompat tali antara Vatican-Itali.

Interior Basilica mulai dari atap sampai ke dinding dipenuhi dengan pahatan orang suci Katolik dan lukisan peristiwa penting bagi umat Katolik. Sulit menikmati interior dengan leluasa karena banyaknya pengunjung di dalam Basilica. Sebenarnya ada guide lokal yang mengantar dan menjelaskan macam-macam, tapi saya selalu ketinggalan di belakang dan tidak mendengar penjelasannya. Di sebuah ruangan, seorang biarawati sedang berdoa di depan jenazah entah Pope siapa, sementara di antara si biarawati dan jenazah itu rame pengunjung lalu lalang. Saya tidak tau mungkin ada bagian lain di Basilica yang lebih tenang untuk berdoa, tapi ruangan-ruangan yang saya lewati lebih terasa turistik. Pengunjung bebas berfoto bahkan boleh duduk-duduk sambil makan minum.

Landmark berikutnya yang kami kunjungi adalah Colloseum. Tiket masuknya EUR12. Kami hanya foto-foto di luar sebagai tanda “been there“.

Mengisi siang sampe sore, kami dilepas di Spanish Step menyusuri butik-butik branded item di Via Condotti. Ternyata kalo ada customer masuk apalagi rombongan, butik-butik tersebut mengunci pintu dari dalam kemudian pegawai butik berkonsentrasi melayani customer.

Puas mengukur Via Condotti dari ujung ke ujung, saya dan mama duduk-duduk nyante di tengah Spanish Step yang penuh dengan turis. Begitu melihat ada tempat kosong, kami pindah duduk di pinggir Barcaccia Fountain di Piazza di Spagna, bagian bawah Spanish Step. Di Roma ini banyak bertebaran piazza atau square, dan di setiap piazza ada fountain dimana turis suka sekali duduk mengelilinginya. Sebut saja Trevi Fountain yang terkenal itu.

Di downtown tersebut sepertinya merupakan area pedestrian karena tidak terlihat ada kendaraan motor. Untuk balik ke bus stop kami naik kereta kuda semacam delman seharga EUR100 yang muat untuk 4 orang. Karena jalan-jalan terlihat sama, kami nyasar dan berhenti di tempat yang salah sementara delmannya sudah pergi. Selama nunggu si pimpinan tur mencari bus stop yang tepat, masih juga ada anggota rombongan yang menghilang untuk belanja. Walaaah…

Ini hari terakhir Eurotrip sebelum kami pulang melalui Bandara Fiumicino esok paginya.

menari


2 Comments

Eurotrip Halte 5: Luzern

Sepuluh April Titisee dan Schafhaussen

Sebelum melintasi perbatasan, kami melewati Black Forest yang sama sekali ngga kelihatan black-nya. Kalo liat di gambar, Black Forest ituh semacam highland dengan pepohonan tumbuh rapat dan berwarna ijo tua. Karena masih musim dingin, pohonnya antara gundul atau baru mau numbuh daun lagi,  dan tertutupi salju tipis.

Di balik kerapatan pohon itu terletak tujuan kami berikutnya yaitu Titisee, sebuah resort area dengan danau glasir bernama sama.  Resort-nya sangat bersih dan tertata rapi dengan jalan yang lebar. Danau Titisee sendiri kecil bila dibandingkan dengan Danau Toba. Saya dan mama hanya berjalan-jalan di resort area sambil ngobrol ketika seseorang menyapa kami dalam bahasa Indonesia. Waaa… ada seorang ibu dengan beberapa temannya sedang rekreasi. Mereka ini orang Indonesia yang sudah belasan tahun tinggal di dekat Titisee mengikuti suami yang asli Jerman. Sapa kami tidak panjang, masing-masing melanjutkan jalan-jalan.

Perjalanan menuju Swiss sempat tertahan di perbatasan karena driver kami tidak punya passport. Si driver pun ngomel ke petugas imigrasi secara dia italiano, yang berarti dia adalah bagian dari warga Uni-Eropa, ngga perlu pake passport apalagi visa. Swiss belakangan baru bergabung dengan Schengen Treaty, bukan berarti negara ini anggota UE atau EEA . Entah bagaimana penyelesaian masalah, karena kami juga tidak bisa membantu pada saat pak driver di bawa ke pos jaga, akhirnya bis diijinkan melewati perbatasan.

Perhentian kami selanjutnya adalah air terjun Rhine Falls di Schafhaussen. Weee..air terjunnya ngga tinggi, hanya lebar dan sepertinya berarus deras. Kelebihan lain Rhine Falls dari air terjun yang pernah saya liat di Indo adalah aksesnya yang mudah dari jalan dan toiletnya bersih. Thok. Tidak menghabiskan waktu lama selain mengambil beberapa foto kami cabcus menuju Luzern.

11 April Luzern & Mt. Titlis

Sepanjang kota-kota di Swiss yang kami lalui semuanya punya pemandangan khas, yaitu komposisi kota-pegunungan-danau atau sungai. Liat pegunungan di Swiss yang masih berselimut salju, randomly saya ngebayangin cerita anak klasik Heidy.

Pagi-pagi saya sudah keluar hotel untuk hunting foto. Hanya dengan berjalan kaki 1 menit ke arah belakang dari Hotel Flora, saya sudah sampai ke Chapel Bridge jembatan kayu yang melintasi Sungai Reuss. Jam 7 pagi Bahnhofstrasse, jalan di tepi Sungai Reuss masih sepi. Hari sudah cerah dan komposisi 3 in 1 itu luar biasa cantiknya di Luzern.

scene cantik di Luzern

view dari atas cable car

Saya ngga bisa berlama-lama karena jadwal jam 9 ke Mount Titlis di Engelbert, 45 menit perjalanan dari Luzern. Titlis merupakan gunung glasir di jajaran pegunungan Alpen, spot tujuan untuk menyaksikan salju abadi. Dari Engelbert kami berganti cable car 3x kemudian menggunakan lift besar menuju Klein Titlis. Selain cable car system dan ski resort, Klein Titlis juga dilengkapi dengan dining area dan gift shop. Saya kok ya malah repot ngebayangin gimana caranya ngangkut bahan bangunan dan heavy equipment untuk membangun fasilitas semacam ini.

Ngga tau pasti berapa tepatnya, tapi suhu di atas gunung saat itu pastinya minus sekian derajat ce.  Dan saya masiiiih aja pake sandal tipis sementara semua orang bersepatu huhuhuhu… Untungnya di Engelbert saya sempat beli sarung tangan. Jadi walopun kedinginan saya masih bisa menikmati pegang-pegang salju dan lari-lari di atasnya. Ohwooow…salju pertama sayaaa… nowraaak yo ben. Anak tropis ini.

the dying lion

Selepas makan siang, kami menengok singa sekarat landmark-nya kota Luzern. Monumen singa ini merupakan pahatan batu untuk mengenang Swiss Guards yang dibunuh selama Revolusi Prancis. Seperti halnya sistem perbankan mereka, Swiss Guards terkenal setia dan dapat dipercaya. Vatican pun menyerahkan penjagaan negara kepada tentara Swiss ini.

Dari monumen singa, bis menurunkan kami di Schwanenplatz, old downtown-nya Luzern. Beramai-ramai kami memasuki toko Bucherer. Tidak hanya menjual brand sendiri, toko Bucherer juga menjual brand internasional termasuk Swatch kesukaan saya. Swatch di sini mah kek brand low-end, jarang ada yang di atas EUR100. Walopun menerima pembayaran dalam Euro, Swiss masih menggunakan mata uang sendiri yaitu Swiss Franc (CHF). Saat itu kursnya 1 EUR = 1.35 CHF dan 1 USD = 1 CHF. Yang bingung CH itu singkatan apa dan mana S-nya (karena dulu saya juga bingung dan mengira itu mata uang Canada), itu nama latin dari Swiss Confederation “Confoederatio Helvetica”. Oww..ofkoorsss saya menggunakan google hi..hi..hi.

Seperti semua kota di Eropa yang sudah dimampiri, Luzern sangat bersahabat untuk pedestrian. Kami menikmati berjalan sore dan mencicipi gelato di Schwanenplatz. Kembali ke hotel yang berada di bagian new town tinggal nyebrang Chapel Bridge (Kapellbrücke) sambil liat-liat lukisan interior di sepanjang atap. Saya ngga ngerti dan tertarik lukisan sih, tapi dari liat sekilas kayak sejarahnya kota Luzern. Unik karena frame lukisan berbentuk segitiga sesuai dengan plafon. Cuman agak malesin liatnya harus mendongak ke atas mlulu. Saya lebih tertarik melihat di kejauhan ada bangunan dengan kubah seperti masjid yang ternyata adalah Jesuit Church.


Leave a comment

Eurotrip Halte 4: Frankfurt

9 April Cologne dan Frankfurt

Hari ini lebih banyak kami habiskan di atas bis melintasi wilayah Jerman dalam perjalanan menuju Swiss.

Sebelum menuju Frankfurt, kami menyinggahi Cologne (Köln) kota yang dilintasi Sungai Rhein dan menjadi asal usul Eau de Cologne 4711. Saya baru tau cologne itu dulu memang nama merk wewangian (yang diambil dari nama kota) sebelum menjadi istilah umum untuk wewangian dengan formula tertentu. Gift shop 4711 di Wallrafplatz (shopping area) kecil saja. Kami berbelanja cologne dalam botol-botol mungil yang cocok sebagai alternatif oleh-oleh.

Untuk menuju ke Wallrafplatz dari tempat perhentian bus, kami melewati Cologne Cathedral, salah satu situs UNESCO’s World Heritage. Bangunannya berwarna gelap dan bergaya gotik. Di pelatarannya kami menonton manusia patung dengan kostum prajurit templar sedang diputari oleh pengunjung sambil bernyanyi.

***
Menurut yang saya baca, Frankfurt itu kota bisnis. Itinerary  juga tidak menjadwalkan apa-apa selain menginap di kota ini. Seperti turis pada umumnya, kami menyempatkan mampir ke Römerberg, alun-alun di bagian old town. Alun-alun ini dikelilingi oleh bangunan abad pertengahan dengan bentuk facade yang khas. Yang paling sering disebut yaitu Römer difungsikan sebagai balai kota atau gedung serbaguna.

Selain berputar di Römerberg yang tidak luas, kami duduk-duduk di suatu ruang kota terbuka tidak jauh dari sana. Menikmati senja sambil minum coklat panas. Iiisshh… enaknyooo.

Dan sejak di Frankfurt lah saya baru menyadari, urusan “ke belakang” itu mwahhaaal. Di underground ruang terbuka itu toilet umum bertarif EUR0.50 dan koinnya harus dimasukkan ke palang otomatis agar pintu palangnya terbuka baru bisa masuk ke area toilet. Saya tidak menemukan recehan dan hampir mengundurkan diri ketika penjaga toilet melambaikan tangan kepada saya sambil membuka kunci palang. Saya ragu-ragu namun sang janitor memberi tanda agar saya masuk saja. Oooh..baiknya pak janitor itu. Mungkin dia kasian liat muka saya big grin.

Frankfurt juga menunjukkan bahwa wanita Jerman itu perkasa. Saat kami tiba di Hotel Best Western tidak ada portir khusus yang mengangkut bagasi dari tempat parkir bis (yang lumayan jauh karena hotelnya tidak memiliki halaman) Sehingga tiga wanita yang saat itu bertugas lah yang bolak balik menggotong bagasi. Bagasi yang saya maksud di sini bukan koper beroda, dan tanpa troly lho. Begitu juga saat kami check-out. Sangat efisien, tanpa banyak cakap, namun tetap rapi. Heil Frankfruters!

 


Leave a comment

Eurotrip Halte 3: Amsterdam

7 April Brussels – Lisse – Amsterdam

Di Eropa ada peraturan bahwa supir bus pariwisata dilarang beroperasi lebih dari 8 jam. Menurut informasi lain yang saya baca, lebih dari 12 jam. Bagaimana bisa ketahuannya, saya juga ngga ngerti. Tapi sopir-sopir mematuhi pembatasan itu. Maka kami mulai dari Paris melakukan perjalanan darat pada pagi hari dengan menggunakan bus pariwisata dan tiba di kota tujuan pada jam check-in hotel.

Atomium

Hari ini kami menuju Amsterdam dengan dua pemberhentian di Brussels dan Lisse. Brussels dari balik jendela bus tidak tampak semetropolis Paris dan tidak serapi London, tapi kota ini istimewa karena merupakan ibukota Uni Eropa. Kami hanya mampir di downtown (entah apa nama daerahnya) untuk duduk ngopi-ngopi. Saya sempat berjalan menyusuri pertokoan dan menemukan satu toko yang khusus menjual manga (komik jepang). Wow! pikir saya kaget mengingat di negeri inilah komik Tintin lahir dan menjadi kebanggaan rakyatnya. Selain downtown, kami juga mampir ke Atomium, iconnya kota Brussel. Sayang tidak ada jadwal itinerary untuk masuk ke salah satu sphere-nya.

Memasuki Lisse, di sepanjang jalan menuju Keukenhoff, hamparan bunga tulip berwarna-warni mulai terlihat. Keukenhoff di peralihan musim dingin ke musim semi sebenarnya belum terlalu semarak. Namun bagi saya yang belum pernah melihat bunga tulip tentu saja tidak berhenti terkagum. Cantiknya beyond words.  Cantik. Cantik. Cantiiik.

Kebun Raya Bogor secantik ini ngga yaa? Terakhir ke sana 20 tahunan yang lalu

Malam itu kami menginap di Swissotel Amsterdam. Berada di Damrak yang merupakan jalan satu arah, bis tidak diijinkan untuk menurunkan kami tepat di depan hotel karena merupakan jalur pedestrian. Jadilah para pegawai hotel menyebrangi jalur trem, sepeda dan pedestrian bolak balik sambil mengangkut bagasi yang bervolume besar-besar.

8 April Tur Kota Amsterdam dan sekitar

Berikut itinerary hari ini:

  • Peternakan dan pabrik keju Henri Willig. Ternyata umur keju itu aslinya bisa setahun dua tahun. Selain plain (namanya natural gouda), juga ada keju rasa garlic, keju warna ijo, dan keju dari susu kambing dan domba.
  • Volendam, kota nelayan tua yang berjarak hanya setengah jam perjalanan dari Amsterdam. Daya tarik utama kota ini karena nuansanya yang tradisional dan berasa “Belanda tempoe doeloe”-nya. Seperti turis pada umumnya, kami berfoto di studio foto dengan pakaian tradisional Belanda lengkap dengan klompen dan setting isi rumah khas nelayan.  Dan karena ini kota nelayan, menu siang ini adalah ikan yang saya ga tau apa namanya tapi enaaak banget. Makannya di Restoran De Koe yang artinya sapi.
  • Coster Diamonds, pemotongan intan tertua di Belanda. Letak pabrik dan showroom-nya strategis di antara Rijksmuseum dan Van Gogh Museum. Untuk tur, mereka menyediakan pemandu-pemandu yang menguasai bahasa ibu dari peserta tur. Rombongan kami sendiri tidak tur keliling dengan pemandu namun langsung digiring ke sebuah ruangan. Ketika semua rombongan sudah masuk, pintu dikunci dari luar dan kami tidak diijinkan keluar masuk. Suatu saat, ada intan yang sangat kecil terlepas dari pinset si sales. Kami tidak boleh bergerak maupun keluar ruangan sampai intan tersebut ditemukan.

Hari ini kami ditemani oleh tiga orang pemandu sekaligus sales asal Indonesia, komandan timnya bernama Pak Jongky. Walaupun tujuan akhirnya adalah terjadinya transaksi jual beli, banyak juga pengetahuan baru yang saya dapat dari ruangan tertutup ini. Misalnya, saya baru tau, yang saya kira berlian itu ternyata bukanlah nama batu berharga yang dimaksud, melainkan jenis potongan (cutting). Terjemahan yang tepat untuk diamond adalah intan. Intan berlian (brilliant diamond) artinya intan diasah bulat dan mempunyai 58 facet (permukaan). Cutting ini paling populer  karena kelimapuluh delapan facet-nya mengeluarkan kecemerlangan sempurna intan. Swarovski atau kaca sekalipun bila cutting-nya 58 facet juga disebut berlian, berlian swarovski atau berlian kaca.

Untuk menentukan nilai intan ada 4-c: a) Carat (ukuran berat). 1 carat = 0.2 gram = 100 point; b) Color (warna). Yang paling bagus river untuk warna putih yang cemerlang (exceptional white), yang paling ngga bagus cape untuk warna kekuningan (yellowish); c) Clarity (kejernihan) tingkat ketidaksempurnaan yang diamati oleh mata terlatih menggunakan pembesaran 10x. Yang tau ini sih cuma para ahli; d) Cut (potongan). Selain brilliant, ada juga Princess dengan 72 facet. Dinamai demikian karena dipakai pertama kali oleh Princess of Wales. Bentuk terbaru namanya Royal 201 dengan 201 facet.

Selain informatif, tim Pak Jongky ini sangat komunikatif. Mereka update bahasa-bahasa gaul terbaru (baru tau istilah “mahmud” justru dari mereka ini) dan sering menyelipkan joke untuk mendukung promosi. Mereka juga pintar mempersuasi calon pembeli dengan memanfaatkan karakter orang Indonesia yang sangat suka bersosialisasi sambil pameran  bersiul. Saya yang mulanya ngga tertarik kemari karena ngga suka perhiasan, jadi terhibur dengan pertunjukan promosi tim Pak Jongky. Cukup banyak customer Indo yang berbelanja di Coster sehingga Coster memberikan kemudahan pembayaran dalam IDR atau transfer melalui bank di Indonesia.

  • view from canal cruise

    Keliling kota Amsterdam dengan canal cruise mengelilingi the Single Canal. Kota Amsterdam memang lebih cocok dijelajahi melalui kanalnya karena kota ini sebenarnya terdiri dari 90 pulau yang dipisahkan oleh 100 kanal dan dihubungkan oleh 400 jembatan. Kami mengelilingi 3 kanal utama, yaitu Herengracht (Lord’s Canal); Keizersgracht (Emperor’s Canal); dan The Prinsengracht (Prince’s Canal), selama kurang lebih 1 jam melewati  rumah Anne Frank, museum iptek Nemo, daerah Jordan, Theatre Caree, kanal laut utara dan Amstel Hotel. Duh saya jadi iri, seandainya Kali Ciliwung bisa jadi atraksi wisata seperti ini berdoa.


Leave a comment

Eurotrip Halte 2: Paris

5 Apr St. Pancras Station, London – Gare du Nord, Paris by Eurostar

di atas Eurostar

Hari ini menuju Paris dengan Eurostar dari Stasiun St. Pancras. Saya tuh ngebayangin kereta ada kompartemennya. Menyebrangi Channel Tunnel, kirain bisa liat bawah air lewat jendela kek di Sea World. Ternyataaaa… keretanya biasa kek commuter line, dan selama melewati terowongan bawah selat gelap aja gitu tongue

Tiba di Gare du Nord jam 12.40 waktu setempat, kami dijemput naik bis langsung ke Rue du Rivoli untuk belanja. Rue du Rivoli adalah jalan lurus sepanjang sekitar 2 kilos dengan deretan toko-toko souvenir. Kalo di Indonesia mungkin kayak jalan Maliboro di Jogja kali ya. Di kawasan ini ada toko duty free “Benlux” yang sering jadi tujuan turis Indonesia. Dikelola oleh seorang Indonesia, toko ini menawarkan barang bermerk (parfum, tas dan aksesoris) dengan harga miring. Sementara sepupu-sepupu memanfaatkan duty free, saya pengennya eksplore jalanan di luar. Tapi sebagai anak yang berbakti dari seorang ibu yang bukan berjiwa petualang (yang ga berani jauh-jauh dari rombongan), saya dan mami cuma keluyuran tak jelas di dalam toko.

Berseberangan dengan deretan toko di Rue du Rivoli, ada Musee de Louvre tempat lukisan Monalisa yang asli dipajang. Hari sudah beranjak sore ketika rombongan yang digelantungi kantong belanja duduk-duduk di komplek museum tersebut dan foto-foto di depan piramid gelas (scene-nya Da Vinci Code nih). Ga masuk ke dalam museum, katanya tiketnya mahal pun.

Sore baru kami check in di Hotel Etoile St. Honore, hotel kecil yang lebih mirip homestay. Katanya sih ini dulunya apartemen (kelihatan dari tangga dan koridornya), yang kemudian ditambah lift. Makanya liftnya sempit cuma cukup berempat tanpa barang bawaan. Kata si pimpinan tur, Pak Pur, untuk ukuran bintang 3 ratenya lumayan mahal. Mungkin karena letaknya dekat dengan Champs Elysees. Bagian terbaiknya, di ruang duduk ada komputer dengan internet yang boleh dipake gratis..yayness! etapi kok kok…keyboard-nya bukan QWERTY, melainkan AZERTY. Trus klo mau memunculkan karakter [at], setelah coba sana sini,  tombol aneh “alt gn” ini yang harus dipencet. Belum lagi bahasanya ga ada enggres-enggresnya. Heleeuuuuhh..mau mindahin foto-foto di memory card aja harus tebak-tebakan tombol.

6 Apr Tur Kota Paris

Dengan ditemani tour guide bernama Miss Yiita, kami sight seeing kota Paris yang saat itu menjelang musim semi dengan menggunakan bis. Rute dan penjelasan Miss Yiita sebagai berikut:

  • Menyusuri axe historique yaitu garis lurus imajiner mulai dari Arc de Triomphe de l’Etoile atau Gerbang Kemenangan, dibangun oleh Napoleon yang meniru tradisi Romawi, dimana pihak yang menang membangun gerbang dan melewatinya dengan seluruh balatentara.
  • Jalan terkenal Champs Elysees (di telinga terdengar seperti syang zelize) yang merupakan kawasan mwahal kedua di dunia. Jika diteruskan lurus ke arah timur  maka akan sampai di Arc de Triomphe du Carousel yang berada di komplek Musee de Louvre.
  • Berkeliling di daerah pusat pemerintahan dan istana kepresidenan. Salah satu gedungnya menjadi inspirasi Capitol Hill di AS. Sepanjang jalan berkeliling itu selalu terlihat taman dengan tanaman dan pepohonan yang dipangkas dengan ketinggian dan bentuk yang seragam, sehingga dari ujung jalan yang lurus terlihat sangat rapi.
  • Hotel des Invalides, yaitu bangunan berkubah emas tempat pahlawan militer dimakamkan, termasuk Napoleon.
  • Kami juga dibawa ke tempat strategis untuk mengambil foto full body si nyonya besi Menara Eiffel.

Jam 11 kami menuju Menara Eiffel yang antrian sudah panjang. Karena tiket masuk kami sudah diurus, kami tidak perlu mengantri terlalu lama. Menara Eiffel dirancang oleh Gustav Eiffel pada abad ke-19 sebagai pemenang sayembara memperingati 100 tahun Revolusi Prancis. Ada 3 lantai bagi pengunjung. Di lantai 1 & 2 ada restoran dan toko suvenir, dan di lantai 3 yang hanya bisa dicapai dengan menggunakan elevator merupakan anjungan pengunjung untuk overview kota Paris. Kalo dilihat dari atas, kota Paris itu ga banyak gedung komersial yang tinggi kek di Jakarta, karena pembangunan gedung hanya diijinkan sampai ketinggian tertentu.

Kubah Galeries La Fayatte

Alokasi 4 jam berikutnya mengeksplore Galeries Lafayette, department store besar dengan arsitektur atap berbentuk kubah. Kubah ini lah yang biasanya jadi alasan turis kemari selain belanja. Mengambil gambar kubahnya bisa sampe baringan demi dapat angle yang okeh. Menurut saya sih, mal-nya ga istimewa, cenderung padat yang tidak menunjukkan ke-elegan-an. Ah ya, saya kan bukan fashion enthusiast. Agak kecewa masa jauh-jauh ke Paris nge-mal juga 😦 Karena saya dan mami ga belanja, kami cari tempat buat duduk dan terdamparlah di McD di lantai 4 mal tersebut. Resto McD di sini ga senyaman di Indo, karena aslinya fast food: makan cepat-cepat 😀 Mana ada duduk-duduk cantik di sofa nyaman sambil internetan.

Bosan berada di mal, kami keluar menyusuri pedestrian di samping mal tapi ga berani jauh-jauh juga. Akhirnya kami menunggu tim shopping di sebuah cafe dekat mal. Sepanjang jalan itu isinya cafeeee mlulu. Parisienne (sebutan bagi orang Paris) senang duduk-duduk di luar dengan kursi menghadap ke jalan. Untuk melihat dan dilihat. Istilahnya mejeng, ujar Miss Yiita (iya si Miss Yiita ini tau juga mejeng. Dese ada keturunan Indo Belanda, tapi udah lama tinggal di Paris, taunya istilah old school gitu :)). Makanya cafe selalu rame. Di musim peralihan dari dingin ke semi dimana hawanya sejuk cenderung dingin, banyak Parisienne bergerombol di jalan-jalan untuk menikmati sinar matahari.

Dan saya ketiduran aja di cafe selama sisa waktu itu. Uwoooo…kenapa saya menyia-nyiakan waktu sementara ada Sungai Seine yang menunggu untuk dijelajahi aaaakkkkk….. *selfkeplak* Ah sudahlah.

Malamnya walopun lelah, saya memutuskan ikut rombongan menonton LIDO dengan penuh rasa ingin tau. LIDO ini semacam pertunjukan kabaret nyanyi dan tari yang mulai dari koreografi, tata panggung sampai kostum ditata dengan sangat apik dan profesional. Petugas yang menyambut dan mengantarkan kami ke tempat duduk mengenakan jas resmi. Bukan sekedar menonton, namun konsepnya adalah menonton sambil fine dining. Layout tempat duduk tidak menghadap langsung ke panggung melainkan berhadap-hadapan dengan penonton lain yang dipisahkan oleh meja makan. Pada saat pertunjukan akan dimulai, lantai ruang makan akan bergerak ke samping untuk memberikan sudut yang nyaman bagi penonton. Oiya, mengambil foto selama pertunjukan tidak diperkenankan. Tiket masuk yang dibelikan oleh pihak tur (sudah termasuk dalam paket tur, jadi kami tidak mengeluarkan uang lagi) seharga (kalo ga salah) Euro 11o, dapat minum dan cemilan saja. Dinner beneran pastinya lebih mahal.

Menonton kabaret ini bagi orang-orang yang beriman harus menundukkan pandangan karena, biar kata ditutup dengan bulu angsa warna-warni, jala-jala atau kipas segede tales, errr… kostumnya teteup terlalu banyak memberikan informasi dan kesempatan berimajinasi apa yang ada dibaliknya I don't want to see. Saya termasuk orang yang banyak menunduk selama pertunjukan. Bukan. Bukan karena saya teguh beriman (kalo beneran si iman kuat, ga bakal mau masuk ke sana kan big grin), tapi karena leher sangat pegal, kawan. Kebagian duduk persis di depan panggung, nonton bukannya lebih enak malah harus menyamping sambil mendongak selama hampir 2 jam. Pulang-pulang mata berkunang-kunang owowow…

LIDO letaknya di Champs Elysees, dekat dengan hotel jadi tinggal jalan kaki pulang pergi. Satu lagi show yang sama seperti ini yaitu Moulin Rouge, berada di red district-nya Paris, agak jauh dari hotel dan pertunjukannya hanya berbahasa Prancis.


Leave a comment

Eurotrip Halte 1: London

Bulan April tahun lalu, saya berkesempatan ngintil mami Eurotrip ikut rombongan keluarga sepupu.

+ Ke Eropa? Mauuuuu…
– Emang bisa ambil cuti 2 minggu
Mami sangsi mengingat kesibukan kerja saya yang bikin bliau sering urut dada
+ Kapan berangkat?
– Awal April
+ Bisa bisa bisa! Bisa diatur!

Okelah. Mami senang karena ada teman. Saya pun gembira karena…Eropa gitu looooohhhh *histeris*

yayaya..siapa juga bisa nolak jalan-jalan ke Eropa dengan akomodasi gratis plus. Ohoooo mau dibilang norak ya norak deh.

Maka saya pun semangat menjalani hari-hari menuju awal April.

Persiapan:

Dibilang sangat bersemangat berangkat, tidak demikian halnya untuk persiapan. Biasaaaa..ogah repotcool

Ngurus paspor kalo ga dipaksa-paksa dan diomelin adik ipar, ga akan berangkat ke kantor imigrasi dengan segera. Oiya, saya baru pertama kalinya punya paspor hijau. Niat hati ingin ngurus sendiri, biar ada pengalaman yang bisa dibagi. Apa daya waktunya ngga ada. Jadilah pake calo, trus kena mahal pula karena saya terlalu polos *jedot-jedotin kepala ke pohon pisang* (plis, jangan tanya!). Cukup menghibur, foto paspor saya jadinya bagus.  Lumayan buat pamer sampe 5 tahun ke depan 🙂

Ngurus surat rekomendasi bank, surat keterangan dari perusahaan tempat saya bekerja, siapin foto untuk visa (dua kali foto karena salah info). Trus antar semua surat dan dokumen yang diperlukan ke agen tur. Dan wawancara untuk apply visa Inggris. Semuanya dikejar disela-sela deadline kerjaan.

2 hari kemudian visa Inggris sudah di tangan si agen tour. Passport sudah lengkap dengan Visa Schengen yang dapat duluan tanpa wawancara.

Yureeeepp…I’m comiiiiinggg!

3 April CGK – SIN

Saya belum pernah ke negara tetangga manapun lho. Kombinasi antara (sok) nasionalis dan pelit gitu deh. Jadinya transit di S’pore nganga-nganga liat skytrain dan gedenya Changi.

Transit 1 jam itu ternyata sangat mepet untuk mengejar pesawat ke London yang tepat berangkat 1 jam kemudian. Mana gate keberangkatannya jauh sangat.

Changi – Heathrow

Maap klo agak pamer… *uhuk*

Tur ini didesain untuk para eksekutif kelebihan duit. Penekanan pada kata kunci “kelebihan duit”, yang menggambarkan kegiatan utama tur (yaitu shopping) dan akomodasi premium.

Ga nolak sih berangkat dengan kelas bisnis SQ. Kabinnya luas banget untuk tiduran dengan nyaman sambil nonton film. Lumayan kan perjalanan 13 jam bisa istirahat dengan nyaman. Ga enaknya tur macam ini, kita cuma jadi turis dan bukannya traveler. Jarang ada pengalaman asik yang bisa diceritakan kembali dengan berapi-api.

Kami sampai jam 19.20 waktu setempat di musim dingin liburan paskah. Urusan imigrasi saya dan mami dapat ibu-ibu India yang bawel dan ngga senyum sama sekali (dibandingkan dengan petugas di sebelahnya). Kira-kira begini interogasinya:

Maksud kunjungan? (tur)
Berapa lama? (2 hari)
Tujuan kemana? (Hotel Melia)
Berangkat dengan siapa? (grup)
….. (hening, sambil bolak-balik cocokan poto paspor dan sidik jari)

Tampang mami udah pucet aja secara dia ngga bisa ngomong enggres (saya juga ga lancar sih, apalagi dikasi tampang serem si petugas). Setelah proses yang 10 menit lebih lama daripada antrian di sebelah, kami berdua lolos juga. Dan jreng jeng… kamilah korban terakhir kejudesan si ibu India hari itu, karena setelahnya ada penggantian petugas.

Kelar urusan imigrasi, rombongan menerjang suhu musim dingin (lupa minus berapa) menuju bis tur yang membawa kami ke Melia White House, di kawasan Regents Park (sekitar 40 menit dari Heathrow). Kami menunggu cukup lama di lobi hotel untuk pembagian kamar, sambil memandangi sesama tamu lalu lalang dengan pakaian musim dingin mereka. Sementara saya hanya menggunakan jaket tipis, kaos kaki tipis dan sepatu sandal teplek. Oh well, salah kostumtongue.

4 April Tur Kota London

Dengan suhu 8-14 derajat C, kami keliling kota dengan menggunakan bis yang disediakan tour. Rute sight seeing: Big Ben (yang menurut guide kami (Mr. Jeff), bukan nama jam besar itu melainkan nama bunyi bel), Trafalgar Square, Westminster Abbey (gereja tempat pasangan kerajaan menikah) – tepi Sungai Thames, London Bridge dan London Eye. Melewati Baker St. (jalan yang terkenal dimana Sherlock Holmes tinggal) yang serupa dengan semua jalan-jalan lain di London. Bersih dan tertata rapi dengan properti lama yang modelnya seragam di kiri kanannya dan Pret a Manger dimana-mana di setiap sudut jalan.

Kesempatan turun dari bis dan beneran jalan-jalan akhirnya ada juga. Tower of London ini dulunya digunakan sebagai istana raja (baru nyadar pas nonton Robin Hood yang dibintangi Russel Crowe). Karena waktunya ga cukup untuk mengelilingi kompleks yang luas, kami hanya tur ke dalam White Tower dimana silsilah,  senjata dan  perhiasan kerajaan Inggris Raya dipajang. Di sebuah ruangan kita juga bisa menonton tayangan video penobatan Ratu Elizabeth II.

Ngga enaknya ikut tur, jadwalnya ketat dan tidak fleksibel. Mr. Jeff ini ngga sabaran dengan rombongan kami yang suka mampir foto sana sini. Dari Tower of London kami terbirit-birit mengejar waktu untuk menonton Change of Guard Ceremony di Buckingham Palace tepat jam 12.00. Saya tadinya mikir, ngapain sih pergantian tugas jaga aja ditonton sampe harus buru-buru gini. Ternyata hohohoho…emang bagus lho. Walo Mr. Jeff suka ngomel, tapi dia pinter cari tempat strategis untuk nonton seremoni ini dari dekat. Dapet deh chemistry-nya.

Istirahat makan siang di restoran Cina di Pecinan kota London. Pasti deh cari yang namanya nasi. Makanya sepanjang tur ini urusan perut akan sering disponsori oleh resto Cina. Hebatnya etnis ini selalu ada di negara manapun, buka resto dan menyelamatkan perut-perut manja nasi.

the woman

Kembali merasakan enaknya ikut tur, tiket masuk sudah diurus oleh travel sehingga kami tidak perlu ikut mengantri panjang untuk masuk ke Museum Madame Tussaud. Tiketnya 5 Pound untuk puas-puasin foto dengan patung lilin dari para pesohor *haaaa…kamu ya yang namanya Tiger Wood* *toyor-toyor jidat Tiger Wood*

Patung lilin yang banyak diantri untuk poto-poto: Putri Diana, si “Edward Cullen”, Zac Efron, Keluarga Obama. Madame Tussaud dong jarang ada yang poto. Eh yang mana sih orangnya?

Yang seru pas naik taksi mungil yang berjalan di atas rel, trus keliling melihat boneka-boneka (seperti di Istana Boneka Dufan, tapi yang ini kaya diorama gitu) dan mendengarkan narator menceritakan kota London dari masa ke masa. Sayang di sini kamera tidak dibolehkan. Di akhir perjalanan, dengan mata kriyep-kriyep ada sinar nyamber aja. Iiishh… ga bilang-bilang mau dipoto, kan bisa rapi-rapi dulu.

Acara utama dan penutup sebelum kembali ke hotel: belanja printilan di Oxford St. Berasa deh arogannya negeri ini pas toko-toko resmi hanya mau terima uang poundsterling dan pecahannya (shilling, pence). Ada juga yang masih mau terima Euro, tapi biasanya toko-toko kecil yang pemiliknya juga pendatang.


Leave a comment

Summer Vaca: Pulau Lombok

Bermula dari semangat (sok) nasionalis dan ga mau kalah: mencuri dengar kakak ipar tour guide kami yang orang Perancis sudah dua kali ke Gili Trawangan, masak saya yang berdomisili di Indonesia malah belum pernah- maka ketika teman-teman eks kantor lama merencanakan liburan, saya pun vote trip ke Lombok.

Setelah 4,75 bulan nyante ga ambil pusing dan 1,25 bulan berikutnya mual-mual (sounds le to the bay? NOT) mengatur akomodasi, 4 orang pekerja kantoran ini – saya, @karina_deha, @vyisipie, dan @whiteladylen – kabur dari rutinitas menuju Bumi Gora.

Ga tau ini cuma saya aja atau memang seperti ini adanya: cari penginapan bersih, lokasi strategis, harga affordable, di bulan Juli, itu sangat sangat sangat menguras emosi.

Apalagi baru mulai mencari di akhir bulan mei heuuuhhh.. Walo penginapan itu fungsinya cuma buat naro badan karena kita kan seharian jalan, saya kekeuh pengen dapat kamar dan kamar mandi bersih. Ini penting bagi orang yang suka rempong ganti baju di kamar mandi kek saya.

Tips: hindari bepergian di musim liburan. jika sudah membeli tiket pesawat 6 bulan sebelumnya, jangan mencari penginapan 1 bulan sebelum keberangkatan. *apaaa? smua juga udah tau?? well…* *cih tips apaan* :p

Di saat low season (September-Oktober atau Februari-Maret) boleh saja mencari on-arrival. Saat high season pun sebenarnya bisa, tapi tentunya tidak leluasa membandingkan.

Penginapan

Setelah mengalami proses sekitar 20 kali: browsing nama hotel, liat fasilitas dan kemudahan akses, baca review di tripadvisor, menghubungi contact person untuk tanya rate dan availability, trus share info ke teman-teman, we ended up with these.

1. Gusung Indah, Gili Air

Hotel dengan manajemen aneh. ga ada web, ga e-mail. Nomor kontak (087864342852/081907323849) kami dapatkan dari seorang reviewer di tripadvisor. Ketika kami hubungipun agak sulit berkomunikasi dengan kontak tersebut, dan mereka tidak menerima booking maupun deposit.

Informasi yang kami terima untuk tanggal yang kami minta tersedia 1 bungalow dengan AC dan open bath room dengan harga 800k per malam termasuk sarapan dan extra bed.

Terletak di ujung utara Gili Air, hotel ini bisa dicapai dari pelabuhan dengan cidomo dalam 10 menit, atau 45 menit dengan kaki di jalan berpasir sambil terseok-seok menggeret koper di bawah terik matahari (kalo mau loh).

Untuk melihat posisi penginapan di Gili Air, bisa lihat di sini. Pilihlah penginapan yang punya akses langsung ke pantai tapi agak menjauh dari pelabuhan. Pemandangan pantainya lebih cantik dan biasanya penginapan menyediakan gazebo di tepi pantai untuk menikmatinya.

Sampai di sana kami ditawari 2 alternatif: bungalow seperti penawaran sebelumnya atau bungalow dengan fan saja. Bungalow dengan harga 800k tersebut bentuknya seperti rumah adat suku sasak dan open bath room-nya digemari oleh para tamu asing.

Kami memutuskan mengambil pilihan kedua yaitu bungalow (tanpa bentuk rumah adat) dengan fan (walau musim panas, pendingin ruangan tidak terlalu diperlukan), close bath room (kami tidak menyukai ide duduk bengong di toilet sambil ditatap oleh jagat raya, terimakasih) dengan harga 400k per malam (bisa untuk 4 orang).

Tentang hotel menurut saya: kamar dan kamar mandi bersih, checked.  Walo jauh dari pelabuhan tapi jarak ke pantai dekat dan di depan penginapan disediakan gazebo dan hammock untuk nyantai-nyantai cantik sambil nunggu sunrise.

Untuk sarapan kami mencoba omellet (yang disajikan dengan toast ukuran separo dan buah tropis potongan), toast (yang disajikan dengan scramble egg dan buah) dan fried banana with honey (di menu didaftarkan di bawah judul pancake. dan yang keluar dari dapur ya pisang goreng). Saat makan siang, kami mencoba nasi goreng dan steak yang tidak kami rekomen karena nasi gorengnya terlalu berminyak dan steaknya keras.

Tip: jangan segan untuk menawar rate kamar (terutama jika pemilik penginapan adalah orang lokal. kalo pemiliknya orang asing, saya kurang tau juga sih *hloh*). Sebelumnya kami diberi rate 500k per malam.

Fyi, air keran di semua penginapan di Gili asin dan lengket. Tanyakan kepada pihak hotel apakah mereka menyediakan air tawar secara gratis. Di beberapa hotel, air tawar dikenakan charge.

2. Batu Bolong Cottage, Senggigi

Hotel ini memiliki dua lokasi cottage (view pantai yang lebih mahal dan view taman) yang dipisahkan jalan raya. Kami mendapat kamar di lokasi dengan view taman. Standar room (untuk 2 orang) dengan AC dan air panas harganya 300k per malam. Malam berikutnya kami pindah ke deluxe room (AC, air panas, extra bed 1 orang) 450k per malam. Harga seharusnya 550k dengan extra bed –> jadi, negolah.

Tentang hotel menurut saya: lokasi strategis dekat dengan keramaian (sebelumnya sudah booking juga di Hotel Bulan Baru yang ternyata akses jalannya gelap dan sepi) dan tempat-tempat tujuan wisata serta pusat kota. Dekat dengan Pura Batu Bolong (yang katanya bagus buat hunting sunset. Ironi, kami tidak sempat ke sana). Kamar dan kamar mandi bersih. Sarapannya lumayan, bisa pilih American bf (toast & eggs) atau Indonesian bf (nasgor). Pantainya ga istimewa, bersih tapi pasirnya hitam.

Transportasi

Dari Pelabuhan Bangsal menuju Gili Air 20 menit perjalanan dengan menggunakan perahu. Tidak seperti destinasi Gili Trawangan yang lebih besar dan rame, public boat menuju Gili Air hanya 2x sehari, yaitu jam 8 pagi dan jam 3 sore. Harga tiket 8k per orang dan harus 20 orang baru berangkat. Alternatif lainnya adalah chartered boat bertarif 155k sekali jalan maksimal 20 orang.

Karena jam kedatangan yang tidak cocok, kami terpaksa mencharter kapal dan berharap ada turis yang mau sharing sewanya. Alih-alih turis, kami mendapatkan sekitar 15 orang penduduk lokal yang nebeng gratis, naik ke kapal yang kami charter dengan muka lempeng. Rupanya ini arti dari pengumuman penjual tiket via pengeras suara “Gili Air one-way”, yang tadinya kami kira panggilan untuk kapten kapal yang sebenarnya berdiri di dekat loket. Dua hari kemudian ketika kami mau kembali ke Pulau Lombok, kami mendapat informasi bahwa ada shuttle boat dengan tarif 25k per orang.

Untuk jalan-jalan ke tiga Gilis kami menggunakan glass bottom boat yang lebih cocok untuk snorkeling, dan dikenakan tarif 400k per kapal. Belakangan kami tanya sewa kapal keliling Gilis 75k per orang, mungkin bukan pake glass bottom. Sedangkan island hopping dari pelabuhan 10k per orang, tapi hanya ada jam-jam tertentu.

Di Gilis, transportasi yang diijinkan hanya cidomo (delman) dan sepeda. Dari pelabuhan menuju penginapan tarifnya 50k, semua kompakan dan ga mau ditawar; dan hanya boleh dinaiki oleh 2 orang penumpang. Kalo keliling satu pulau 150k. Sewa sepeda 15k per jam atau 50k per hari sampai jam 4 sore.

Di Pulau Lombok, kami berkeliling ke tempat-tempat wisata dengan menyewa mobil kijang kapsul 300k per 10 jam, belum termasuk bensin. Selain menyewa selama 2 hari, kami juga minta dijemput di bandara pada saat kedatangan dan diantarkan ke pelabuhan Bangsal dengan tarif 150k sekali jalan.

Pemilik mobil sekaligus sopir kami bernama Pak Wayan yang nomor kontaknya (081805717885) saya dapat dari teman. Pak Wayan ini cukup informatif misalnya memberitahu kapal ke Gili paling akhir jam berapa, sebaiknya menginap di Batu Bolong Cottage dari pada di Hotel Bulan Baru. Atau memperingatkan untuk berhati-hati dengan pedagang acung yang banyak di Pantai Kuta dan Tanjung Aan.

Makanan

Dalam hal kuliner, kami tidak beruntung menemukan makanan enak dengan harga sepadan. Ketika kami jalan ke tempat-tempat wisata di Pulau Lombok, semua tempat makan ditentukan oleh Pak Wayan sesuai dengan arah perjalanan. Di Gili Air kebanyakan makanan yang disajikan adalah western dan, tentu saja, seafood. Kami mencoba pizza dan pasta yang enak di Biba Beach Cafe (224k berempat), dan makan seafood di Hotel Gili Air Restaurant (247k berempat).

Di Senggigi, kami makan malam di Square Restaurant & Lounge (pake taksi hanya 6k dari hotel). Makanannya ga istimewa, tom yam tidak seperti yang saya harapkan. tapi dessert special manggo mereka cukup jadi kompensasi. Plus di lantai 2 tempatnya enak untuk merasakan ambience kota di malam hari.

Menurut informasi seorang teman, ayam Taliwang dan plecing kangkung yang enak di RM. Ayam Taliwang Irama di daerah Cakranegara. Sayangnya kami ga sempat ke sana karena keasyikan berburu mutiara.

Tempat yang dikunjungi dan ngapain di sana

(keterangan detil tentang tempat, yuk dipasang goggle google-nya :D)

1. Gili Air

Termakan oleh hasil browsing di internet, yang katanya tidak terlalu rame dan lautnya lebih bersih, kami memilih Gili Air sebagai tempat menginap. Setiap Rabu malam, yaitu malam kedatangan kami, ada party free of charge. We were tired -in my case, I’m oooold- so, we passed it.

Kami ber-island hopping ke Gili Trawangan dan Gili Meno dengan menggunakan glass bottom boat. Melalui kaca yang dipasang di dasar kapal, kita bisa mengamati curamnya Meno Wall dan penyu melintas di dasar laut.

Karena sudah agak sore, kami tidak bisa terlalu meng-eksplore kedua Gili tersebut. Cuma sempat menyusuri pantai Gili Trawangan 500an meter, mampir ke konservasi penyu. Terus ke Gili Meno untuk foto-foto di danau (yang menurut saya sih, ga cocok disebut danau, lebih mirip tambak garam minus garamnya). Itupun sang kapten kapal udah rese aja minta balik karena takut air laut keburu surut.

Satu hari penuh berikutnya kami jadwalkan untuk mengikuti fun diving, yang jadi tujuan utama @vyisipie sampe rela dipotong gaji karena masih fakir cuti. Beberapa operator diving di Gili Air: Manta Dive, Dream Diver, dan Blue Marlin Dive. Kami memilih operator yang terakhir karena lebih dekat dengan penginapan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Sebagai newbie, kami mendaftar PADI Discover Scuba Diving seharga IDR530k dan mendapatkan fasilitas: seorang instruktrur PADI keriting berbahasa Indonesia berlogat lucu, briefing (yang isinya kebanyakan jawaban sabar atas pertanyaan bawel kami) dan pengenalan alat (helloo regulator), 20 menit 2 jam praktek di kolam renang, peralatan diving, sewa perahu dan kesempatan diving sampai kedalaman maksimum 12m slama 45 menit. oiya, saya senang karena mereka menyediakan goggle untuk mata minus dan belum ada smog-nya.

Walopun meyakinkan ketika di kolam renang, saya ngga berhasil diving di laut tanpa menyebabkan instruktur kehabisan oksigen lebih cepat. terus-terusan panik karena ga bisa mengeluarkan air asin yang masuk ke google, akhinya saya naik kembali ke kapal daripada @vyisipie dan @karina_deha ga nyelam-nyelam nungguin instrukturnya.

Jadi, saya telah melewatkan pengalaman asik ini *nangis di pojokan sambil meluk tabung oksigen* tapi kalo ditanya mau coba diving lagi, uhmmmm…15 kilos tabung oksigen harus dipanggul sendiri, alas! saya gemukin badan dulu deh 😛 *alesan*

Kalopun ngga diving dan snorkeling atau berkegiatan air lainnya, untuk doing nothing juga SANGAT menyenangkan. Duduk-duduk santai di gazebo, menatap laut biru kehijauan dan langit tanpa asap adalah liburan sesungguhnya di Gili manapun.

2. Air Terjun Sendang Gila dan Tiu Kelep

Terletak di Desa Senaru yang merupakan jalur pendakian menuju Gunung Rinjani. Tiket masuknya IDR 5k per orang dan tarif guide IDR 60k per trip.

Ada dua lokasi air terjun: yang pertama mudah dicapai, tinggal menuruni tangga semen; yang kedua perlu berlintas alam mengikuti jalan setapak, mengarungi sungai dan melompati sarang semut rang-rang.

Bisa ngapain aja di sana: main air! airnya sejuk dan bening banget. katanya bisa bikin muda setahun loh *puk-puk air ke muka* dan foto-foto asik di bawah air terjun or di batu-batu gede.

3. Malimbu

Berada di tikungan jalan yang melebar, sebenarnya Malimbu cuma spot untuk menikmati (dan foto-foto!) sunset dan tiga Gilis.

4. Pusat Gerabah Banyumulek

Di sini kami menghabiskan waktu dengan menyanyikan unchained melody sambil elus-elus gerabah nyobain bikin gerabah. hasilnya: 3 gerabah unyu, 0 belanja di showroom.

5. Pusat Kerajinan Tenun Desa Sukarara

Turis biasanya dibawa ke toko merangkap workshop. Selain belanja, bisa nyobain menenun sebaris dua baris, dan foto dengan pakaian adat (sewanya bisa dapat IDR 10k kalo skalian belanja)

6. Dusun Sade

Terletak di tepi jalan raya Mataram – Praya, Dusun Sade merupakan perkampungan tradisional suku Sasak. Mereka menjaga keaslian dengan menikah sesama suku. Berkeliling kampung hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit berjalan kaki ditemani oleh guide (tip guide IDR30k dan di pintu masuk dusun ada pemungutan sumbangan sukarela). Kita diijinkan memasuki salah satu rumah adat yang unik dan melihat-lihat ke dalamnya. Walopun cuma tanah, tapi lantai rumah benar-benar bersih karena sering dipel dengan kotoran kerbau. Bukti bahwa aritmetika benar berlaku dalam kehidupan sehari-hari, negatif ditambah dengan negatif menghasilkan positif 😀

Ada juga nih rumah dengan 1 ruangan saja khusus untuk pengantin baru. Pintu rumah cuma setinggi pinggang saya, dan jarak rumah tersebut ke tetangga hanya sekitar setengah meter *membayangkan…* *dikeplak*

7.  Pantai Kute dan Tanjung Aan

Uniknya Pantai Kute adalah pasirnya yang seperti butiran merica, dan perpaduan warna cantik dari hijaunya perbukitan, air laut sewarna tosca, langit biru dan pasir merica. Pantainya cocok untuk surfing.

Sejajar dengan garis pantai Pantai Kute, ada Tanjung Aan yang pasirnya sudah beda bentuknya tapi sama cantiknya. Kita bisa menikmati Tanjung Aan dari atas bukit-bukit batu.

Kedua pantai ini masih belum rame oleh turis, belum ada sarana transportasi umum dan belum dikelola resmi oleh pemerintah daerah. Ketika kami ke sana, Pak WaPres Budiono sedang berkunjung untuk membuka event Festival Internasional Pemuda dan Olah Raga Bahari, sehingga jalan menuju ke Tanjung Aan lebih mudah diakses. Sayangnya, masyarakat sekitar belum sadar wisata, kata Pak Wayan the driver. Tidak seperti di Gilis yang sangat aman dimana warga lokal akan menjaga Gili-nya dari kejahatan, di kedua pantai ini banyak pedagang acung yang maksa sambil ngomel-ngomel dan kita harus waspada jaga tas dan barang berharga, cukup mengganggu kenyamanan.

8. Art Shop Sinar Mutiara Siti Hajar

Semula kami dibawa ke pusat mutiara di lingkar selatan karena searah dengan tujuan ke Banyumulek. lihat-lihat beberapa toko, kok tidak semurah yang dikatakan oleh teman. Beberapa bis pariwisata dengan rombongan entah dari mana yang datang kemudian, membuat tawar-menawar jadi kurang nyaman. Kami memutuskan akan belanja mutiara di tempat yang direkomendasikan teman, sepulangnya dari pantai.

Toko mutiara yang dimaksud berada di jalan Cilinaya, Karang Jangkong, sebelah Mataram Mall. Harga mutiara di sini murah-murah. Kalung mutiara air tawar mulai IDR25k, bisa lebih tinggi tergantung warna. Subang mulai IDR 5k, gelang dan bros mulai IDR 15k. Butiran mutiara air laut dihitung per gram, tergantung warna dan kemulusan, mulai IDR 50k. Di showroom harganya bisa IDR 500k per gram. Oiya, orang biasa menyebut mutiara air laut itu adalah mutiara asli. Bukan berarti mutiara budidaya air tawar itu palsu, toh sama-sama dari kerang. Menurut saya, mutiara air tawar itu lucu-lucu bentuknya, jendul sana-sini. Murah lagi *penting*

Total Kerusakan

IDR 2,9 juta-an termasuk tiket pesawat Jakarta-Mataram pp. Tapi tidak termasuk oleh-oleh, belanja mutiara, diving dan pengeluaran pribadi lainnya.