secangkir teh tarik

…ya untuk diminum, apa lagi. mau?

Japan Trip: Mencari Fuji

2 Comments

Dengan mata masih tertutup belek dan jalan sempoyongan, sekitar jam 8 pagi kami turun dari bus Willer di Shinjuku West Exit. Belum terbiasa dengan exit-exit yang cuma berupa tangga, yang ngga keliatan tanpa mengamati dengan teliti, menuju ke stasiun subway.

Tunnel di Shinjuku begitu sibuk dan padat. Selain terletak di kawasan bisnis, Stasiun Shinjuku juga merupakan perhentian utama di Tokyo bagi bis-bis luar kota.

Kami mulanya berjalan di sisi kiri tunnel, kemudian ingin mampir ke convenience store di sisi kanan. Dan kami berdiri kebingungan, bingung gimana memotong jalan segerombolan orang berpakaian warna gelap dengan pandangan lurus dan jalan tergesa. Ngeri kalau sampai mengacaukan ritme langkah mereka tersenyum lebar.

Rencananya kami pagi ini akan ke Lake Kawaguchiko, salah satu spot untuk melihat Gunung Fuji. Karena belum tau dimana beli tiket bus, saya putuskan ke Tourism Information Centre di Gedung Tokyo Metropolitan Governement. Ternyata lokasinya lumayan jauh menyusuri tunnel dari Shinjuku ke TMG, apalagi sambil geret koper. Sampe sana eeeeh TIC bukanya baru 1 jam lagi. Daripada lemas sia-sia, kami bertanya kepada petugas berseragam cara ke Kawaguchiko. Ia kemudian memanggil rekannya yang bisa berbahasa Inggris. Dalam sekejap kami dirubung petugas beseragam biru donker.

Setelah percakapan tumpang tindih di antara mereka, sementara kami berpandangan antara geli dan ngga enak hati, si petugas tadi meminta kami mengikuti ke luar gedung. Kemudian ia menunjuk ke arah kami datang, “Kalian ke stasiun Shinjuku, lurus kemudian belok kanan  ada pos polisi. Kalian bisa tanya di sana.” Oooow okeee kami balik lagi ke stasiun tapi lewat luar.

Sambil jalan, kami ngobrolin petugas-petugas baik hati itu, saat seseorang yang melintas di samping menyapa “Selamat pagi”. Kami bengong, kemudian perlahan membalikkan badan. Pria itu seorang Jepang, melihat kami ragu-ragu, ia juga berhenti. “Mau kemana?” dalam bahasa Indonesia. Ternyata dia pernah tinggal selama 2 tahun di Jakarta. Kami bilang mau ke Kawaguchiko. Karena dia juga ngga tau pasti, sarannya sama dengan petugas tadi, yaitu tanya petugas di stasiun.

Tempat penjualan tiket bus akhirnya kami temukan setelah mencegat sekali lagi petugas berseragam yang lewat, saya lupa di sebelah mana stasiun. Entah sepertinya saya menanyakan pertanyaan yang salah, mulanya petugas menunjuk ke gedung yang jauh, kemudian seperti tersadar dia kemudian menunjuk tempat lain yang sangat dekat dengan tempat kami berdiri, yaitu Bus Keio. Diantar pula sampe ke loket.

Sebelum kami beli tiket, petugas loket menginformasikan karena terjadi kemacetan, perjalanan ke Kawaguchiko yang seharusnya hanya 2 jam kemungkinan bisa menjadi 4 jam. Kami ragu-ragu dan menyingkir dari loket untuk berunding. Prospek untuk 8 jam pp naik bus lagi setelah 8 jam perjalanan bus Kyoto-Tokyo, “hanya” untuk nongkrongin Gunung Fuji, sangat melemahkan semangat. Tapi kami memang tidak ada rencana apa-apa seharian ini. Mau check-in ke hostel juga belum bisa. Jadi kami tetap pada rencana semula. Masih cukup waktu untuk sampai ke hostel sebelum larut.

Tiket bis ke Kawaguchiko seharga JPY1,700. Sebelumnya kami taro bagasi dulu di loker sewaan terdekat. Karena mengira waktunya mepet, kami lari-lari ke tempat loker dan kembali ke perhentian bis, takut ketinggalan.

Ternyata yang macet di dalam kota, setelah keluar Tokyo jalanan lancar. Kami sampai di Stasiun Kawaguchiko dalam 3 jam “saja”. Ada 2 orang Indonesia yang satu bis dengan kami, yang kemudian barengan hunting view Gunung Fuji.

Judulnya selama di Jepang, kami pertamanya selalu kebingungan dulu, baru kemudian mempelajari situasi (plus tanya sana sini). Seperti di Kawaguchiko ini, di stasiun kami ngga tau harus kemana dan ngapain untuk ke danaunya dan melihat Gunung Fuji. Pengennya naik ropeaway seperti di buku @ClaudiaKaunang, itu juga ngga tau dimana letaknya. Kami berempat membeli tiket bus 1-day pass seharga JPY1,000 plus dapat time-table bus.

Bus datang kami naik rame-rame. Terus..terus ini harus turun dimana yaaa? Yang mana danaunyaaa? Mana Gunung Fujinyaaa? Hahaha ampun daah. Begitu terlihat papan bertuliskan Lake Kawaguchiko (lupa melulu kalo mau minta bis berhenti harus pencet tombol yang ada di tempat duduk), kami berlompatan turun. Sudah ketemu danaunya (ya secara itu bis memang keliling danau, gemana sih), mana yang namanya Fuji?

Beberapa orang tua yang sedang nyantai di sebuah pos kami tanyai.

“Oh, Gunung Fuji ngga kelihatan dari sini”

Lhaaa teruuuss?

Ternyata Gunung Fuji ngga kelihatan, karena posisinya di sisi tempat ini. Kalo mau liat, harus berada di sisi seberang danau sono. Dan saya yang keseringan lama loadingnya baru ngerti bahwa dengan tiket bus yang kami beli, kami bisa naik turun bis di halte manapun (ada 21 halte) di kawasan danau ini seharian. Tempat kami turun itu halte 10. Baru deh kami buka time-table bus dan paham cara bacanya whew!menjulurkan lidah. Ngga apa-apa lah, sudah pake day pass ini. Pemandangan juga bagus kok, jadi bisa foto-foto dulu.

Halte 10

Dengan melihat peta, kami menebak-nebak kira-kira di halte mana kami harus turun supaya bisa liat Fuji. Kami coba turun di halte 14, yang hanya berupa tepi jalan (halte 10 ada tamannya). Ada jalan setapak kecil menurun ke arah tepi danau.

Dan seperti kata orang-orang, susah kali melihat puncak Gunung Fuji yang sering tertutup kabut.

Kalo ngga salah ini di halte 14

Lanjut ke halte berikutnya, naaah tempatnya lebih asik dan posisi Gunung Fuji lebih terlihat jelas.

breath taking…

Kesabaran kami menunggu sedikit menghasilkan. Perlahan kabut menyingkir, dan walau tidak seluruhnya, puncak Gunung Fuji kelihatan juga.

yang ini di halte 19. tepi jalan juga.

Hop in hop off dari halte ke halte, foto-foto sampe batere kamera yang dasarnya sudah tiris (di Kyoto ngga sempat nge-charge) akhirnya matot. Aaaah senaaangnyaaa hari itu… *kissbye Fuji*

Author: secangkir teh tarik

a loner, wandering mind.

2 thoughts on “Japan Trip: Mencari Fuji

  1. mbak, mo nanya..jd brenti di halte ke 15 yah baru terlihat bagus gunung fujinya?

Leave a comment