secangkir teh tarik

…ya untuk diminum, apa lagi. mau?

Eurotrip Halte 2: Paris

Leave a comment

5 Apr St. Pancras Station, London – Gare du Nord, Paris by Eurostar

di atas Eurostar

Hari ini menuju Paris dengan Eurostar dari Stasiun St. Pancras. Saya tuh ngebayangin kereta ada kompartemennya. Menyebrangi Channel Tunnel, kirain bisa liat bawah air lewat jendela kek di Sea World. Ternyataaaa… keretanya biasa kek commuter line, dan selama melewati terowongan bawah selat gelap aja gitu tongue

Tiba di Gare du Nord jam 12.40 waktu setempat, kami dijemput naik bis langsung ke Rue du Rivoli untuk belanja. Rue du Rivoli adalah jalan lurus sepanjang sekitar 2 kilos dengan deretan toko-toko souvenir. Kalo di Indonesia mungkin kayak jalan Maliboro di Jogja kali ya. Di kawasan ini ada toko duty free “Benlux” yang sering jadi tujuan turis Indonesia. Dikelola oleh seorang Indonesia, toko ini menawarkan barang bermerk (parfum, tas dan aksesoris) dengan harga miring. Sementara sepupu-sepupu memanfaatkan duty free, saya pengennya eksplore jalanan di luar. Tapi sebagai anak yang berbakti dari seorang ibu yang bukan berjiwa petualang (yang ga berani jauh-jauh dari rombongan), saya dan mami cuma keluyuran tak jelas di dalam toko.

Berseberangan dengan deretan toko di Rue du Rivoli, ada Musee de Louvre tempat lukisan Monalisa yang asli dipajang. Hari sudah beranjak sore ketika rombongan yang digelantungi kantong belanja duduk-duduk di komplek museum tersebut dan foto-foto di depan piramid gelas (scene-nya Da Vinci Code nih). Ga masuk ke dalam museum, katanya tiketnya mahal pun.

Sore baru kami check in di Hotel Etoile St. Honore, hotel kecil yang lebih mirip homestay. Katanya sih ini dulunya apartemen (kelihatan dari tangga dan koridornya), yang kemudian ditambah lift. Makanya liftnya sempit cuma cukup berempat tanpa barang bawaan. Kata si pimpinan tur, Pak Pur, untuk ukuran bintang 3 ratenya lumayan mahal. Mungkin karena letaknya dekat dengan Champs Elysees. Bagian terbaiknya, di ruang duduk ada komputer dengan internet yang boleh dipake gratis..yayness! etapi kok kok…keyboard-nya bukan QWERTY, melainkan AZERTY. Trus klo mau memunculkan karakter [at], setelah coba sana sini,  tombol aneh “alt gn” ini yang harus dipencet. Belum lagi bahasanya ga ada enggres-enggresnya. Heleeuuuuhh..mau mindahin foto-foto di memory card aja harus tebak-tebakan tombol.

6 Apr Tur Kota Paris

Dengan ditemani tour guide bernama Miss Yiita, kami sight seeing kota Paris yang saat itu menjelang musim semi dengan menggunakan bis. Rute dan penjelasan Miss Yiita sebagai berikut:

  • Menyusuri axe historique yaitu garis lurus imajiner mulai dari Arc de Triomphe de l’Etoile atau Gerbang Kemenangan, dibangun oleh Napoleon yang meniru tradisi Romawi, dimana pihak yang menang membangun gerbang dan melewatinya dengan seluruh balatentara.
  • Jalan terkenal Champs Elysees (di telinga terdengar seperti syang zelize) yang merupakan kawasan mwahal kedua di dunia. Jika diteruskan lurus ke arah timur  maka akan sampai di Arc de Triomphe du Carousel yang berada di komplek Musee de Louvre.
  • Berkeliling di daerah pusat pemerintahan dan istana kepresidenan. Salah satu gedungnya menjadi inspirasi Capitol Hill di AS. Sepanjang jalan berkeliling itu selalu terlihat taman dengan tanaman dan pepohonan yang dipangkas dengan ketinggian dan bentuk yang seragam, sehingga dari ujung jalan yang lurus terlihat sangat rapi.
  • Hotel des Invalides, yaitu bangunan berkubah emas tempat pahlawan militer dimakamkan, termasuk Napoleon.
  • Kami juga dibawa ke tempat strategis untuk mengambil foto full body si nyonya besi Menara Eiffel.

Jam 11 kami menuju Menara Eiffel yang antrian sudah panjang. Karena tiket masuk kami sudah diurus, kami tidak perlu mengantri terlalu lama. Menara Eiffel dirancang oleh Gustav Eiffel pada abad ke-19 sebagai pemenang sayembara memperingati 100 tahun Revolusi Prancis. Ada 3 lantai bagi pengunjung. Di lantai 1 & 2 ada restoran dan toko suvenir, dan di lantai 3 yang hanya bisa dicapai dengan menggunakan elevator merupakan anjungan pengunjung untuk overview kota Paris. Kalo dilihat dari atas, kota Paris itu ga banyak gedung komersial yang tinggi kek di Jakarta, karena pembangunan gedung hanya diijinkan sampai ketinggian tertentu.

Kubah Galeries La Fayatte

Alokasi 4 jam berikutnya mengeksplore Galeries Lafayette, department store besar dengan arsitektur atap berbentuk kubah. Kubah ini lah yang biasanya jadi alasan turis kemari selain belanja. Mengambil gambar kubahnya bisa sampe baringan demi dapat angle yang okeh. Menurut saya sih, mal-nya ga istimewa, cenderung padat yang tidak menunjukkan ke-elegan-an. Ah ya, saya kan bukan fashion enthusiast. Agak kecewa masa jauh-jauh ke Paris nge-mal juga 😦 Karena saya dan mami ga belanja, kami cari tempat buat duduk dan terdamparlah di McD di lantai 4 mal tersebut. Resto McD di sini ga senyaman di Indo, karena aslinya fast food: makan cepat-cepat 😀 Mana ada duduk-duduk cantik di sofa nyaman sambil internetan.

Bosan berada di mal, kami keluar menyusuri pedestrian di samping mal tapi ga berani jauh-jauh juga. Akhirnya kami menunggu tim shopping di sebuah cafe dekat mal. Sepanjang jalan itu isinya cafeeee mlulu. Parisienne (sebutan bagi orang Paris) senang duduk-duduk di luar dengan kursi menghadap ke jalan. Untuk melihat dan dilihat. Istilahnya mejeng, ujar Miss Yiita (iya si Miss Yiita ini tau juga mejeng. Dese ada keturunan Indo Belanda, tapi udah lama tinggal di Paris, taunya istilah old school gitu :)). Makanya cafe selalu rame. Di musim peralihan dari dingin ke semi dimana hawanya sejuk cenderung dingin, banyak Parisienne bergerombol di jalan-jalan untuk menikmati sinar matahari.

Dan saya ketiduran aja di cafe selama sisa waktu itu. Uwoooo…kenapa saya menyia-nyiakan waktu sementara ada Sungai Seine yang menunggu untuk dijelajahi aaaakkkkk….. *selfkeplak* Ah sudahlah.

Malamnya walopun lelah, saya memutuskan ikut rombongan menonton LIDO dengan penuh rasa ingin tau. LIDO ini semacam pertunjukan kabaret nyanyi dan tari yang mulai dari koreografi, tata panggung sampai kostum ditata dengan sangat apik dan profesional. Petugas yang menyambut dan mengantarkan kami ke tempat duduk mengenakan jas resmi. Bukan sekedar menonton, namun konsepnya adalah menonton sambil fine dining. Layout tempat duduk tidak menghadap langsung ke panggung melainkan berhadap-hadapan dengan penonton lain yang dipisahkan oleh meja makan. Pada saat pertunjukan akan dimulai, lantai ruang makan akan bergerak ke samping untuk memberikan sudut yang nyaman bagi penonton. Oiya, mengambil foto selama pertunjukan tidak diperkenankan. Tiket masuk yang dibelikan oleh pihak tur (sudah termasuk dalam paket tur, jadi kami tidak mengeluarkan uang lagi) seharga (kalo ga salah) Euro 11o, dapat minum dan cemilan saja. Dinner beneran pastinya lebih mahal.

Menonton kabaret ini bagi orang-orang yang beriman harus menundukkan pandangan karena, biar kata ditutup dengan bulu angsa warna-warni, jala-jala atau kipas segede tales, errr… kostumnya teteup terlalu banyak memberikan informasi dan kesempatan berimajinasi apa yang ada dibaliknya I don't want to see. Saya termasuk orang yang banyak menunduk selama pertunjukan. Bukan. Bukan karena saya teguh beriman (kalo beneran si iman kuat, ga bakal mau masuk ke sana kan big grin), tapi karena leher sangat pegal, kawan. Kebagian duduk persis di depan panggung, nonton bukannya lebih enak malah harus menyamping sambil mendongak selama hampir 2 jam. Pulang-pulang mata berkunang-kunang owowow…

LIDO letaknya di Champs Elysees, dekat dengan hotel jadi tinggal jalan kaki pulang pergi. Satu lagi show yang sama seperti ini yaitu Moulin Rouge, berada di red district-nya Paris, agak jauh dari hotel dan pertunjukannya hanya berbahasa Prancis.

Author: secangkir teh tarik

a loner, wandering mind.

Leave a comment